Sabtu, 26 Maret 2011

Maulid Nabi Muhammad Saw. Dan Soal Adab

Adab atau etika pada dasarnya bermakna “keadilan atau menempatkan sesuatu pada tempat yang wajar”. Tidak adil dan tidak beradab apabila Anda menghormati orangtua sama dengan penghormatan kepada teman sejawat, demikian pula sebaliknya. Pendeknya, mengurangi atau melebihkan dari yang semestinya adalah tidak beradab. Kalau arti adab seperti itu dijadikan tolok ukur sikap terhadap Nabi Muhammad Saw. dan uraian maulid, maka agaknya tidak sedikit kaum Muslim yang kurang beradab terhadap beliau.
Setiap Muslim tentunya hormat dan kagum kepada Nabinya. Bukan saja ketika memandang beliau dari kacamata manusia, seperti yang dilakukan oleh banyak pakar non-Muslim yang objektif, tetapi lebih-lebih ketika memandang beliau dengan kacamata agamanya. Di sini sang Muslim akan menjadikan Al-Quran sebagai rujukan dalam sikapnya.
Beliau memang manusia seperti kita juga dalam struktur, fungsi fisik, dan nalurinya. Tetapi sifat kemanusiaan Rasul saw mencapai kesempurnaan, apalagi beliau mendapat wahyu dari Allah SWT. Karena itulah Allah berpesan: Jangan jadikan panggilanmu terhadap Rasul sama dengan panggilan sebagian kamu terhadap sebagian yang lain (QS 24: 63).
Allah sendiri menunjuk atau memanggil manusia mulia ini dengan gelar terhormat seperti “wahai Nabi” atau “wahai Rasul”. Hanya satu ayat yang menyebut namanya tanpa diiringi gelar kehormatan. Bagaimanakah cara kita menyebut nama beliau?
Kurang dari apakah yang telah dicontohkan Al-Quran? Ternyata, jawabnya adalah kurang beradab. Di sisi lain, kekaguman tidak jarang mengantarkan kita kepada sikap tidak adil, baik terhadap yang dikagumi atau yang berkaitan dengannya. Banyak contoh yang dapat diberikan.
Banyak para ulama, apalagi orang awam, yang berusaha sekuat kemampuannya untuk menguraikan keajaiban-keajaiban yang terjadi menjelang atau saat kelahiran Nabi. Tidak jarang khatib maupun mubaligh yang menggambarkan kondisi sosial yang dihadapi Nabi SAW. dengan gambaran yang keliru dan ini didorong oleh hasrat membuktikan keagungan manusia yang mulia ini. Semua ini bukanlah sikap yang beradab terhadap beliau.
Ketika Nabi lahir berguncang singgasana kaisar; berjatuhan berhala-berhala, padamlah api yang disembah bangsa Persia.
Keajaiban-keajaiban ini—kalau benar—memang luar biasa, tetapi is tidak menambah kepercayaan orang yang beriman. Di sisi lain, pada saat kelahiran Nabi banyak ibu melahirkan dan ketika itu bisa raja masing-masing berkata bahwa keajaiban itu karena kelahiran anaknya.

Beliau lahir dalam keadaan bercelak mata, putus tali pusarnya, telah dikhitan bahkan dapat mellhat dari pundaknya.

Benar, beliau manusia istimewa, baik secara fisik maupun psikis. Tetapi melukiskan seperti itu menjadikan beliau tidak seperti manusia lagi.
Nabi diutus di Makkah karena masyarakatnya yang paling bejat, mereka menyembah berhala, menanam hidup-hidup anak wanita, dan melakukan segala macam kejahatan. Kemudian dibentuknya masyarakat harmonis, tidak mengenal dosa, dan generasi terbaik umat manusia.
Pernyataan di atas tidak adil dan tidak beradab, baik terhadap Nabi saw. maupun terhadap masyarakatnya. Menanam hidup-hidup anak perempuan tidak dikenal secara umum dalam masyarakat waktu itu. Hanya dua atau tiga suku yang melakukannya. “Kalau kita tidak menjadikan orang-orang Prancis yang bodoh dan hidup di pedesaan mewakili peradaban dan kebudayaan Prancis, maka tidak wajar menjadikan dua atau tiga suku yang mewakili masyarakatnya (Muhammad saw),” demikian tulis mantan Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud.
Bahwa beliau diutus dari Makkah karena masyarakatnya yang paling bejat adalah pendapat yang tidak didukung hasil pemikiran yang jernih dan hal ini perlu kita kaji secara lebih mendalam. Karena saya khawatir ucapan tersebut kurang adil dan kurang hormat terhadap yang mengutus beliau. Wallahu a’lam.
Pustaka
Lentera Al-quran

http://requestartikel.com/maulid-nabi-muhammad-saw-dan-soal-adab-201102484.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar